udah lama tidak posting karya, kali ini saya mau posting karya WPAP, Ini sejarah singkat dari WPAP
sumber : http://mungkopas.blogspot.co.id/2012/09/sejarah-panjang-wpap-wedhas-pop-art.html
Mungkin Anda pernah atau bahkan sering melihat gambar-gambar WPAP, tapi
tak mengerti WPAP itu apa dan bagaimana sejarahnya. Untuk mengetahuinya,
marilah kita baca tulisan Wedha Abdul Rasyid (penemu Wedha’s Pop Art
Potrait) berikut ini.
Latar Belakang
Embrio gaya ini saya mulai pada sekitar tahun 1990-1991. Memasuki usia
40 tahun, terlahir 10 Maret 1951, ketika itu saya sudah merasakan
menurunnya fungsi mata saya. Ditambah lagi sebagai seorang yang kurang
sekali mengindahkan gaya hidup sehat, saya mulai merasa terlalu cepat
lelah. Kendala fisik itu mulai mengganggu setiap kali saya harus
menyelesaikan gambar, apalagi gambar sosok manusia realis yang menurut
saya bertingkat kesulitan paling tinggi. Memilih dan mencampur warna
menjadi hal yang menyulitkan. Kemiripan warna kulit manusia, kehalusan
goresan, menjadi sesuatu yang mahal buat saya.
220 × 220 - id.wikipedia.org
Dalam keadaan seperti itulah kemudian saya mulai memikirkan cara melukis
atau menggambar wajah manusia dengan cara yang lebih mudah. Cara yang
memungkinkan saya menghindarkan diri dari keharusan mengolah warna kulit
manusia yang sulit, cara tanpa tuntutan ketrampilan yang memadai untuk
memulas.
Saya yang sejak masa sekolah sangat menyukai pelajaran ilmu ukur ruang
(stereometri), mulai mengutik-utik masalah titik, garis dan bidang.
Mulailah saya membayangkan wajah manusia sebagai kumpulan bidang-bidang
datar yang dibentuk oleh garis-garis imajiner.
Cukup panjang proses yang saya lalui sebelum mendapatkan bentuk dan cara
membuatnya seperti yang sekarang. Tapi perjalanan itu saya tapaki
dengan antusias karena semakin lama perjalanan itu semakin memberi
keyakinan akan tercapainya apa yang saya inginkan. Cara memprosesnya
juga mengalami perubahan yang signifikan. Cara manual dan cara yang
menggunakan komputer. Perlu diketahui, pada waktu itu sekitar tahun
1990-1991, komputerisasi belum merata menjamah majalah tempat saya
berkarya. Saya sendiri baru mengenal komputer sekitar tahun 1998.
Di dalam proses manual saya menemukan cara yang mudah dan semakin mudah.
Tapi semakin mudah cara yang saya temukan, saya semakin ragu untuk
mengatakan bahwa apa yang saya hasilkan ini cukup bernilai untuk disebut
sebagai karya seni. Walaupun pada kenyataannya karya saya ini mulai
digemari pembaca, bahkan pada beberapa kesempatan banyak musisi dunia
mengagumi karya saya. Grup Scorpion, Metallica atau James Ingram adalah
beberapa nama yang masih saya ingat, tetap saja saya menganggapnya hanya
sebagai karya yang paling mudah membuatnya untuk memenuhi tugas saya
sebagai illustrator.
Kalau saya merasa mudah, tentu banyak orang yang akan menganggapnya
begitu. Kalau prosesnya mudah tapi hasilnya cukup menarik, tidak
mustahil para perupa lain sudah lebih dahulu menekuninya sebelum saya.
Perasaan inilah yang membelenggu saya untuk tidak mempublikasikannya
secara luas, kecuali untuk pengisi halaman 3 majalah saya. Bahkan
perasaan ini nyaris mengkristal ketika seorang teman mengkritik saya
sebagai seorang yang berkesenian secara akal-akalan.
Syukurlah, memasuki tahun 2007, beberapa orang kenalan berhasil
meyakinkan saya bahwa mereka sampai sekarang masih menyukai dan merasa
kangen dengan tampilnya lagi karya yang pada mulanya saya beri nama Foto
Marak Berkotak itu. Bahkan ada pemerhati karya saya yang telah lama
ingin menemui saya untuk menuntaskan rasa penasarannya pada karya saya.
Ya, mereka yang sejak duduk di bangku sekolah menyukai karya saya, telah
secara perlahan mencairkan belenggu yang saya ciptakan sendiri.
Puncaknya terjadi pada hari Jum’at 22 juni 2007. Seorang Ketua jurusan
DKV Universitas Multimedia Nusantara bernama Gumelar yang hari itu
sengaja saya temui, mengatakan bahwa beliau yang sudah melanglang jagad
itu baru kali ini melihat karya semacam karya saya. Saya layak
melabelkan gaya ini sebagai gaya Wedha, lanjutnya, dan bahkan saya
berkewajiban untuk meluaskan gaya saya ini (yang dikatakan sebagai
terobosan baru) dalam bentuk buku kepada semua orang, agar ada yang
melanjutkan kelak bila saya sudah tiada. Terimakasih saya yang teramat
dalam kepada semua pemerhati karya-karya saya, khususnya Ade Darmawan,
direktur komunitas Ruang Rupa, Meniek, Pak Gumelar, Pak Djoko Hartanto
dan rekan kerja saya, Angky Astari.
Embrio Gaya Wedha
Karya-karya awal gaya ini sudah didominasi oleh bidang-bidang geometrik
yang saya bentuk dengan goresan bebas (free hand stroke) dan menggunakan
medium crayon. Pewarnaannya sudah meninggalkan pakem warna kulit
manusia, juga dengan stroke bebas. Pembidangan pada karya ini mengikuti
intuisi saya pada saat saya mengamati wajah seseorang (biasanya
figur-figur terkenal di bidangnya masing-masing), melalui fotonya. Saya
berusaha keras menangkap ekspresi figur yang saya hadapi lewat beberapa
foto.
Saya buang jauh konsep realisme. Proses ini kental unsur intuisinya.
Sosoknya sendiri banyak mengalami deformasi yang saya tafsirkan dengan
penyangatan bentuk. Tahap ini berjalan beberapa bulan saja. Sayang di
buku ini saya hanya bisa menampilkan dua di antara karya yang telah saya
buat. Yang pertama, Freddy Mercury dari Queen, sedang yang kedua, maaf,
saya sendiri lupa siapa figur yang saya lukis ini. Tapi masyarakat
pembaca masih adem-adem saja menerimanya, mungkin karya dengan gaya ini
sudah dianggap biasa karena saya lihat juga gaya ini sudah sering muncul
di beberapa majalah terbitan luar negeri. Gambar 1.
![](http://3.bp.blogspot.com/-PJQnNlqzoec/UFn88u5y24I/AAAAAAAABZw/fJwr4YLwYng/s640/gambar+1+-+Sejarah+WPAP.jpeg)
Waktu terus berjalan. Ada dorongan bathin untuk lebih menguatkan unsur
garis, sesuai dengan kelengkapan sebuah komposisi, ada garis, ada
bidang. Intuisi yang mendasarinya masih sama. Dengan medium poster
color, garis-garis kuat ini saya terapkan ketika saya melukis wajah
David Foster yang ketika itu berkunjung ke majalah kami, dan juga untuk
Bob Geldof. Tapi kemudian, saya merasa tampilan gari-garis itu tidak
menyatu dengan warna. Dan kalau dihubungkan dengan pewarnaan, terasa
tampilan garis itu berlebihan. Warna-warna yang memang sudah berbeda,
bila disandingkan otomatis akan membentuk garis pemisah sendiri,
walaupun garis pemisah itu imajiner. Inilah sebabnya kenapa tampilnya
garis nyata yang tegas terasa belebihan. Gaya dengan garis kuat ini
hanya tampil 2 kali. Gambar 2.
Saya memasuki perkembangan baru. Kalau dua warna berbeda yang
berdampingan sudah bisa menimbulkan garis imajiner, buat apa dibuat
garis lagi? Dengan pemikiran ini, saya hilangkan tampilan garis. Tapi
untuk lebih menguatkan garis imajiner atau garis pemisahan antar 2
bidang warna, pada karya-karya tahap ini saya sengaja menggunakan
penggaris. Jadilah wajah-wajah seorang pelari pemenang medali emas
Olympiade dari Kenya (maaf namanya lupa), Jack Nicholson, Whoopie
Goldberg, Al Pacino dan seorang lagi yang saya lupa nama dan profesinya.
Gambar 3.
Tapi sayangnya, tidak semua orang mengenali wajah keempat figur yang
saya buat. Hanya orang-orang tertentu atau mereka yang kebetulan melihat
potret aslinya saja yang mengenali siapa yang saya lukis. Ada yang
kurang tepat pada konsep tahap ini. Penafsiran saya terhadap ekspresi
wajah yang saya lukis mungkin saja berbeda dengan penafsiran sebagian
besar masyarakat. Sebagai perupa terapan, saya merasa tidak bahagia
kalau karya saya ternyata hanya komunikatif dengan sebagian kecil
masyarakat pemirsa.
Pada periode inilah saya memberi nama Foto Marak Berkotak (FMB) untuk
gaya ini. Nama itu saya perlukan untuk sekedar membedakan jenis ini
dengan jenis-jenis lain yang secara simultan saya lakukan. Ya, saya kira
jenis ini agak berbau seni murni.
Cukup lama saya berpikir untuk mencari pemecahan masalah perbedaan
persepsi ini. Saya telaah lagi hasil karya saya sendiri. Mungkin Anda
setuju kalau saya katakan bahwa secara anatomis, wajah-wajah pada karya
saya itu tampak berantakan, walau tidak seberantakan Woman-nya Picasso.
Dalam perenungan, wajah yang berantakan ini menjadi topik utama.
Berantakannya Picasso adalah sah karena dia seorang fine artist. Tapi
bagi saya yang perupa terapan tentu menjadi masalah ketika karya saya
berhadapan dengan komunikan.
Kemudian ada pula godaan di dalam untuk bersikap sebagai seniman murni.
Masyarakat kenal atau tidak siapa yang saya lukis, suka atau enggak pada
gaya yang saya buat, saya nggak peduli. Yang penting saya sudah
melampiaskan intuisi saya, selesai. Kalau saya ikuti godaan itu, jelas
akan lebih mudah bagi saya untuk berkarya. Tapi akhirnya saya tepis juga
godaan itu. Saya pikir kalau saya bersikap seperti itu, apakah saya
tidak terlalu egois?
Kembali pada perbedaan persepsi antara saya dan pemirsa karya saya.
Inikah masalah yang harus saya pecahkan itu? Kalau iya, apa solusinya?
Pertanyaan yang cukup menyulitkan! Waktu itu saya mencoba introspeksi.
Mungkin pada penggarapan karya pada tahap ini saya terlalu memanjakan
intuisi seni saya sendiri. Pemanjaan intuisi ini saya lakukan pada 2
aspek penting dalam lukisan saya; aspek warna dan aspek penyangatan
bentuk (deformasi).
Dari masukan yang saya peroleh, ternyata aspek deformasilah yang membuat
karya saya ini berjarak dengan sebagian pemirsanya. Mereka belum bisa
menangkap apa yang saya tangkap yang kemudian saya persembahkan di
hadapan mereka. Seberantakan apapun posisi atau proporsi masing-masing
elemen wajah, saya tetap mengenalinya. Saya tetap menangkap ekspresi Al
Pacino atau Jack Nicholson di situ karena memang saya sendiri yang
membuatnya begitu. Tapi bagaimana dengan sebagian besar komunikan karya
saya?
Sementara aspek pewarnaan yang nyleneh justru mendapat respon positip.
Saya sedih karena sebagian pemirsa masih berjarak. Saya ingin semua
orang di jagad raya ini, tanpa kecuali bisa menyukai atau paling tidak
bisa menerima karya saya ini. Saya membuat karya ini bukan untuk saya
simpan sendiri. Saya ingin berbagi. Di sini kepekatan saya sebagai
seniman terapan diuji. “Seni terapan berorientasi pada publik”, di dalam
benak saya, kata-kata itu selalu beradu kuat dengan kata “setiap insan
berhak memanjakan intuisi pribadinya”.
Saya tahu, saya harus memilih. Tapi masalahnya, yang mana? Demi
penerimaan masyarakat yang lebih luas, akhirnya saya memenangkan
kata-kata pertama. Saya harus berorientasi pada publik, walaupun dalam
batas tertentu saya masih merasa punya hak untuk mendikte publik dengan
intuisi pribadi saya.
Walau keputusan sudah saya ambil, tapi masih ada soal lain yang
berkaitan dengan dengan hal itu. Pada aspek mana saya harus kompromis
dengan publik dan seberapa jauh hal itu bisa saya lakukan?. Pertanyaan
yang sama untuk aspek yang harus saya pertahankan.
Pertanyaan ini akhirnya terjawab ketika saya mengingat
pengalaman-pengalaman di masa lalu. Ketika kita melukis potret
seseorang, tingkat kemiripan tidak tergantung pada warnanya tapi pada
bentuk atau proporsi yang secara anatomis benar. Anda pasti akan tetap
mengenali wajah seseorang dengan tampilan full color walaupun kemudian
mode warnanya Anda ubah menjadi grayscale. Jadi yang bisa saya
pertahankan penuh adalah gaya pewarnaan saya. Sedang untuk
bentuk/proporsi, saya harus kompromis. Kompromis dalam arti, secara
global bentuk wajah, posisi elemen-elemen anggota wajah dan proporsinya
harus tetap sama dengan potret aslinya, tapi detail pembidangan tetap di
tangan intuisi saya.
Agar secara global bentuk wajah yang saya lukis masih tetap sama, ada 3 pilihan cara yang bisa saya lakukan:
- Membuat sket langsung sambil memandang fotonya.
- Menggunakan proyektor untuk memproyeksikan foto yang akan saya lukis pada kanvas atau kertas gambar.
- Tracing.
Pilihan pertama langsung saya singkirkan. Dalam keadaan mata yang mulai
kabur dan fisik yang kurang baik, pilihan ini akan terlalu merepotkan.
Pilihan kedua juga kurang bersahabat, karena saya tidak memiliki
proyektornya. Apalagi, pada masa itu saya belum mengenal apa itu
scanner. Akhirnya pilihan ketigalah yang saya ambil. Pilihan ini paling
meringankan buat kerja saya, walaupun terasa beban moral di situ. Terus
terang, selama belasan tahun berkarir sebagai ilustrator, menjiplak
(tracing) foto adalah pekerjaan yang belum pernah saya lakukan. Apa
boleh buat. Dengan kendala yang ada, saya harus melakukannya. Saya
bertekad, tracing sih tracing tetapi saya akan melakukan tracing yang
tetap bermartabat! Gb. 5.
Tracing bermartabat? Macam mana pula itu? Tracing ini adalah tracing
kreatif yang tidak tunduk 100 persen pada apa yang sedang ditrace. Pada
proses inilah prinsip-prinsip dalam ilmu ukur ruang yang masih saya
ingat, berperan kuat.
Beberapa prinsip itu adalah:
- Garis lengkung pada hakikatnya adalah gabungan dari garis lurus pendek dalam jumlah tak terhingga.
- Bidang lengkung pada hakikatnya adalah gabungan bidang-bidang datar dalam jumlah tak terhingga. Gb. 4.
Prinsip-prinsip itu masih ditambah dengan keyakinan intuisi saya bahwa
bidang yang terbentuk oleh garis-garis lurus akan tampak lebih kuat
dibanding dengan bidang bentukan garis-garis lengkung. Dan sesuatu yang
terukur dengan tegas akan berkesan kuat. Jelasnya begini, sejauh itu
dimungkinkan saya akan membuat bidang-bidang hasil tracing tadi berdiri
tegak (vertical) atau berbaring pasti (horizontal). Andai terdapat
kemiringan, kemiringan itu harus terukur tegas, dengan derajat
kemiringan 60, 45, 30 atau 15 derajat, tapi tidak 93, 88 atau 5, 4
derajat.
Nah, dengan didasari prinsip-prinsip di atas, dalam karya-karya saya,
tidak akan Anda temui garis lengkung atau bidang yang terbentuk oleh
garis lengkung. Dan bisa dirasakan dan terlihat, saya paling suka bila
pada setiap karya, saya bisa tampilkan bidang-bidang vertical yang
berbalas tegas dengan dengan kemiringan bidang lainnya.
Pewarnaan
Sudah sejak lama para pakar warna pendahulu kita menggolongkan
warna-warna menjadi golongan warna panas, sejuk dan dingin, atau terang,
agak gelap dan gelap. Gambar 6. Penggolongan ini di dasarkan pada
fenomena alam yang terjadi di bumi ini. Kita merasakan dan membayangkan
bagaimana panasnya lelehan lava pijar dari gunung berapi. Kemudian kita
adopsi warna-warna yang ada pada lava pijar itu, jadilah kelompok warna
itu golongan warna panas. Demikian pula yang terjadi ketika manusia
merasakan dan melihat suasana musim semi, gugur dan musim dingin/salju.
Dengan pendekatan lain, pendahulu kita juga mengelompokkan warna-warna
menjadi kelompok warna depan, tengah dan kelompok warna belakang.
Pengelompokan ini didasari adanya perbedaan panjang gelombang dan
frekuensi getaran dari masing-masing unsur kimia pembentuk warna yang
terpantul ke mata kita.
Ada warna depan, warna tengah dan belakang. Perbedaan ini saya kira
cukup untuk menimbulkan dimensi. Gambar 7. Dan inilah aturan main yang
saya pakai dalam mewarnai setiap karya saya, walaupun penafsiran atas
tataran itu bisa berbeda pada setiap karya. Jelasnya, untuk suatu karya
saya menganggap kuning sebagai warna depan. Tentu warna tengahnya bisa
oranye atau hijau muda sedang untuk warna belakangnya bisa ungu atau
coklat. Tetapi di lain waktu warna kuning yang sama saya perlakukan
sebagai warna tengah. Tentu saja warna putihlah yang saya anggap sebagai
warna depan dan biru atau hijau sebagai warna belakang.
Penafsiran kedudukan warna ini sebenarnya bisa lebih mudah bila kita
melakukannya dengan mono colour. Kita tinggal memainkan tint atau shade
dari hue yang tunggal. Gambar 8. Saya jarang sekali melakukan cara
penafsiran ini, kecuali bila ada muatan ekspresi tertentu yang ingin
saya tampilkan. Pada umumnya karya saya marak dengan warna.
Teknologi komputer membuat proses pembuatannya menjadi sedemikian mudah.
Bagi yang memahami dan biasa mengoperasikan software Photoshop, Adobe
Illustrator, Freehand atau Coreldraw, proses yang merepotkan di atas,
akan terasa sangat sederhana. Saya sendiri hanya memanfaatkan tool yang
tersedia, Polygonal lasso atau Pen tool dan Paint Bucket. Rasanya tak
perlu lagi proses dengan komputer itu kita beberkan di sini. Terlalu
mudah.
Penutup
Dengan pemaparan ini saya sama sekali tidak berharap untuk bisa mengajak
semua orang untuk melukis potret dengan cara yang saya lakukan ini.
Tidak, kecuali karena tidak berhak, saya juga beranggapan dan percaya
bahwa suatu gaya dalam seni rupa itu tidak boleh dan tidak akan mati,
berhenti pada gaya tertentu. Yang saya inginkan hanyalah agar gaya saya
ini bisa memperkaya khasanah dunia seni rupa dan bisa dinikmati oleh
semua orang. Kemungkinan lain yang saya bayangkan adalah, dengan
mempelajari dan memahami gaya ini, akan terbuka peluang yang luas bagi
setiap orang untuk bisa menemukan lagi terobosan-terobosan baru dalam
melukis potret khususnya, dan dunia seni rupa pada umumnya. Amien.
•••